Rabu, 09 September 2009

Pemaafan

Cerita tentang bekas luka parut karena terjatuh dari sepeda semasa kecil cukup sering ku ceritakan untuk sekedar basa-basi ataupun mengingat-ingat sendiri bagaimana rasa nyeri nya (entah bagaimana, rasa sakit nya terasa bisa membuat orang kangen dengannya) saat proses penyembuhan berlangsung. Saat luka itu sembuh, timbul bekas luka parut memanjang yang cukup tampak dari jarak dekat. Luka parut itu sering ku tekan, entah darimana datangnya kebiasaan itu, tapi percaya atau tidak, rasa nya menyenangkan. Setiap kali menekannya, ada ingatan tentang luka disana, ingatan tentang bagaimana luka itu tercipta saat sedang memacu sepeda dengan kencang pada jalan menurun dan berbatu yang rasanya menyenangkan. Teringat juga rasa sakit berlebihan yang tidak menyenangkan saat luka itu baru saja tercipta, tidak menyenangkan rasanya.


Luka parut muncul saat luka nya besar, tidak beraturan, dan kotor. Seperti itulah kalau “luka” dalam pikiran. Saat sedang merasa orang lain berusaha menyingkirkan ataupun tidak mempedulikan ataupun berbuat apapun yang tidak berkenan, rasa sakit saat luka pertama muncul, rasa yang tidak menyenangkan itu muncul. “Luka” itu bagi ku sebaiknya dibersihkan, dengan memaafkan yang berperan sebagai “disinfektan” yang menambah rasa perih sementara tapi membantu penyembuhan diri sendiri setidaknya mendekati kondisi keseimbangnya. Memaafkan bukan untuk orang lain tapi untuk diri sendiri, diri sendiri seperti mendapat sebuah luka terbuka yang memang membutuhkan untuk dibersihkan. Memaafkan memang sulit seperti luka yang diberi alcohol yang member kejutan rasa perih yang berlebih. Setelah itu, entah bagaimana, rasa sakit saat penyembuhan luka terasa begitu menyenangkan. Bahkan menurutku, rasanya bisa membuat ketagihan, yaitu rasa damai yang perlahan menjalar. Pengurangan rasa sakit perlahan saat penyembuhan “luka” itulah yang membawa rasa damai (sepertinya rasa itu datang karena aku tahu semuanya akan baik-baik saja dan akan sembuh) dan akan bisa seperti candu. Bukan berarti rasa sakit saat penyembuhan itu seperti candu lalu menyusahkan diri sendiri dengan mencari-cari “luka” yang seharusnya tidak muncul lewat member cap masalah pada hal-hal yang sebenarnya bukan masalah. Pikiran seperti tubuh, memiliki kemampuan terbatas dan masih harus mempersiapkan dirinya dari “luka-luka” sebenarnya.


Tentang luka parut, tidak lagi terasa sakit jika ditekan tapi akan tetap membawa ingatan bahwa disana pernah ada luka, dan rasanya nyaman. Rasanya memang tidak sama dengan “bagian” yang tidak pernah mendapatkan “luka”. Tampak nya memang tidak begitu indah bagi orang yang tidak mendapatkan “luka” di tempat yang ia lihat pada dirinya sendiri. Bagi diri sendiri, “bekas luka” itu punya cerita sendiri dan tidak perlu takut jika suatu hari akan terlihat oleh orang lain, karena itu lah hidup diri sendiri, bukan hidup orang lain. Rasa nyaman saat menekan “luka parut “ itu muncul dari diri sendiri bahwa “aku berhasil menyembuhkan diri ku sendiri”. Sesaat sebelum mendapat luka pun menyenangkan seperti kesenangan memacu sepeda kecepatan tinggi di jalan yang berbatu, setelah itu terpeleset dan luka. Hal ini menggambarkan apa yang terjadi itu bukan salah orang lain tapi sebagai akibat dari apa yang dilakukan. Apa pun itu, darimana pun datangnya luka itu, aku percaya semuanya ada timbal balik, tidak ada yang tidak mendapatkan apa-apa dan kehilangan tanpa mendapat apa yang baru. Paling kurang, sudah ada pengalaman dan memori dari “luka” yang didapat yang dapat digunakan di masa depan. Tidak ada yang sia-sia.